Pages

Thursday, June 3, 2010

Another Fairy Tale --part 9--

Esoknya, Raja LinkLekker menggedor-gedor pintu kamarnya dan berteriak siapa yang telah mengunci kamarnya. Sayang, karena kamar sang raja dan pangeran adalah kamar yang cukup kedap suara, hanya sang pangeran yang mungkin mendengar teriakan Raja LinkLekker. Sang Pangeran terbangun dan ingat bahwa ia membawa kunci kamar ayahnya. Kontan seketika ia langsung berlari turun dari tempat tidur dan bergegas membukakan pintu ayahnya. Dengan tetap tanpa busana, sang ayah menjewer anaknya dan menyeretnya masuk. Biasanya memang sang raja bangun lebih siang daripada hari itu, sehingga sang pangeran dapat membuka kunci pintu ayahnya tanpa diketahui ayahnya. Raja LinkLekker cukup geram dengan apa yang dilakukan anaknya itu. Semalaman menghilang tanpa memberi tahu bahkan kemudian mengunci puntu kamar ayahnya sendiri. Sebenarnya ia hampir saja memperbolehkan anaknya untuk menetap di Mathica, tetapi akibat kelakuannya hari itu ia mengubah pikirannya dan mengajak anaknya pulang. Keingingan sang pangeran untuk bersekolah di Magus pupus sudah. Karena jika sang ayah telah memutuskan sesuatu, maka keputusan itu tidak dapat diganggu oleh siapapun, kecuali ibunya. Karena sang ibu telah tiada, sudah tidak ada kesempatan untuk mengubah keputusan ayahnya. Setelah sarapan, pagi itu ia meninggalkan kota L'capitol dengan rasa yang sangat berat. Tapi apa boleh buat, ia tetap ingin berbakti kepada sang ayah bagaimanapun caranya.


Sudah tiga hari Putri Ika menginap di rumah Paman Ditrie. Seluruh pekerjaan sehari-hari ia kerjakan sendiri, mulai memasak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan ruangan, membuang sampah, bahkan membetulkan genting rumah. Yang paling ajaib adalah baju-baju sang putri. Paman Ditrie hanya memiliki baju wanita ukuran anak-anak di rumahnya, baju tersebut adalah baju-baju anaknya terdahulu yang seusia anak SMP, dan ajaibnya baju tersebut tetap cukup di badan Putri Ika. Sebenarnya Putri Ika sempat marah-marah karena baju-baju tersebut sudah tidak cukup umur, tetapi gimana mau menolaknya, ia tidak tahu sampai kapan pamannya ini menawan dirinya di sini. Sehingga ia nurut dan akhirnya ia pakai juga baju-baju tersebut.
Dengan baik ia menuruti seluruh perintah pamannya untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah yang ada. Walaupun tetap dengan grundelan di sana-sini, ia mengerjakan semua pekerjaan tersebut dengan sangat baik bahkan sempurna.

Jika yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah adalah Putri Ika, apa yang dilakukan Paman Ditrie sendiri?

Putri Ika tentu saja bertanya-tanya di manakah pamannya tersebut. Seluruh penjuru ruangan telah ia cari, mulai dari kamar, kamar mandi, kebun, bahkan kolong tempat tidur dan lemari telah ia cari. Tetap saja ia tidak dapat menemukan batang hidung pamannya tersebut. Setelah ia lihat rak alas kaki di samping rumah, ternyata alas kaki pamannya tersebut tidak ada, bahkan alat pancingnyapun ikut menghilang. Dengan muka yang geram Putri Ika menuruni bukit di samping rumah Paman Ditri dan menuju ke sungai yang berada di bawah jurang tempat tinggal Paman Ditrie tersebut.

Terlihat sang paman memang sedang duduk di tepi sungai tersebut bersama pancingnya. Tetapi ada sesuatu yang janggal di sana. Ada orang lain di samping Paman Ditrie. Orang dengan baju hitam tersebut duduk di samping pamannya dan bersendau gurau bak mereka telah kenal bertahun-tahun lamanya. Dengan takut-takut Puri Ika mendekati paman dan orang asing tersebut. Tau akan kedatangan keponakannya tersebut, Paman Ditri menyilakan Putri Ika untuk mendekat dan memperkenalkannya pada orang asing tersebut. Putri Ika memperkenalkan diri dan orang tersebut mengatakan bahwa namanya Banjar. Paman Ditrie mengatakan bahwa orang tersebut adalah teman dari ayah dan ibunya. Setelah beberapa saat berbincang, Putri Ika berfikir lebih baik ia kembali ke rumah untuk mempersiapkan makan malam, mungkin paman Banjar juga akan menginap di rumah paman DItrie malam ini.

Setelah Putri Ika berlalu, Paman Ditrie bertanya pada Banjar apa yang telah ia lakukan pada keponakannya tersebut. Tentu saja dengan percaya diri Banjar menjawab bahwa motif sebenarnya ia menyerang Putri Ika adalah uji coba sihirnya. Ia sangat penasaran apakah sihirnya itu sudah tidak manjur atau bagaimana dan ternyata terbukti bahwa sihirnya benar-benar sudah melemah. Paman Ditrie sebenarnya mengetahui bagaimanakah hubungan antara adiknya, istri adiknya, dan Banjar tersebut. Ia juga tidak bisa menampik bagaimana kebenciannya kepada adiknya itu, tapi jika masalah itu sudah menyangkut ke keponakannya ia tetap tidak dapat tinggal diam saja. Ia berusaha menahan emosinya agar tidak meluap, tapi tetap saja emosi tersebut tak tertahankan. Paman Ditri memberikan bogem mentahnya ke perut Banjar. Ia berkata bahwa pukulan tersebut bukan untuk adiknya ataupun istri adiknya, tetapi hanya untuk keponakannya yang mungil itu. Banjar mengerang kesakitan sebentar, kemudaian ia telah berdiri tegap dengan kedua kakinya tanpa terlihat kembali wajah kesakitan tersebut. Ia berkata bahwa ia telah menanamkan salah satu kunci keberhasilannya untuk mengambil kembali Meichelin dari tangan Sudibyo pada keponakannya tersebut. Kemudian dalam sekejap penyihir tersebut hilang bersama angin yang berhembus dengan kencangnya. Paman Ditrie hanya dapat mengambil kembali pancingnya yang telah bergerak-gerak akibat ikan yang tersangkut kailnya. Dalam sekali tarikan ia telah menangkap kembali seekor ikan yang sangat besar. Setelah menata kembali perkakas pancingnya, ia bergegas kembali pulang dan menghampiri Putri Ika di rumahnya.

Sore hari itu, Michelin kembali memandangi kot lewat cendela kamar Putri Ika. Tentu saja sebagai ibu ia mengkhawatirkan keadaan putri semata wayangnya itu.

To be Continued...

0 comments:

Post a Comment